KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Sumber Agama dan Ajaran Agama Islam”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehinggga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dan tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing yang telah membimbing kami.
Dalam penyusunan makalah ini kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun sendiri maupun kepada pembaca umumnya.
Batam, Oktober 2010
Penyusun
BAB 1
Sumber AGAMA DAN Ajaran Agama Islam
Sebelum membahas pengertian sumber hukum Islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian hukum Islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Hukum Islam disebut juga syariat atau hukum Allah SWT, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah SWT sebagaimana terkandung dalam kitab suci Alquran dan hadis (sunah). Syariat Islam juga merupakan hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun bukan muslim.
Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Alquran dan hadis) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadis) berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
Ulama usul fikih membagi hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifiy dan hukum wadh’iy, sebagai berikut :
A. Hukum Taklify
Adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum taklify tersebut dibagi menjadi lima macam, yaitu:
- Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman.
- An-nadb, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat pahala (kebaikan), tetapi jika ditinggalkan tidak akan mendapat hukuman (tidak berdosa).
- Al-ibahah yaitu firman Allah (Alquran dan hadis) yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
- Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti. Hal itu menjadikan tuntutan tersebut sebagai al-karahah, yakni anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi kalau perbuatan itu dikerjakan juga, maka pelakunya tidak dikenai hukuman.
- At-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan itu wajib dipenuhi. Jika perbuatan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat hukuman (dianggap berdosa).
Sedangkan menurut ulama fikih perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat (hukum Islam) dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
a. Fardu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman (dianggap berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Fardu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti salat lima waktu.
2. Fardu kifayyah: perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa. Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
b. Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
1.Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu. Misalnya: salat sunnah rawatib.
2.Sunnah kifayyah: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang) dari golongan masyarakat. Misalnya: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
c. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Misalnya: berzina, mencuri, membunuh.
d. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Misalnya: meninggalkan salat Dhuha.
e. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Misalnya: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya.
B. Hukum Wad’iy
Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
- Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nas (Alquran dan hadis), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum. Misalnya: tergelincirnya matahri menjadi sebab wajibnya Salat Zuhur, terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya Salat Magrib. Dengan demikian, jika matahari belum tergelincir maka Salat Zuhur belum wajib dilakukan.
- Syarat, yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syarak, tetapi keberadaan hukum syarak tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada. Misalnya: genap satu tahun (haul), adalah syarat wajibnya harta perniagaan. Jika tidak ada haul, tidak ada kewajiban zakat harta perniagaan tersebut.
- Mani (penghalang), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum. Misalnya: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang mengerjakan salat menyebabkan salatnya tidak sah (menghalangi sahnya salat).
Setelah kita mengetahui pengertian hukum atau syariat Islam, barulah kita mengetahui pengertian sumber hukum Islam. Yang dimaksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian, sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam.
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam adalah Alquran dan Hadis. Dalam sabdanya Nabi SAW menyatakan, “Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Al Baihaki). Di samping itu pula, para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum Islam, setelah Alquran dan hadis.
Seluruh hukum produk manusia adalah subyektif. Hal ini dikarenakan minimnya ilmu yang diberikan Allah Swt. tentang kehidupan dunia dan kecenderungan untuk menyimpang. Sedangkan hukum Allah Swt. adalah peraturan yang lengkap dan sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia.
BAB II
Sumber Ajaran Agama Islam
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad dengan sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yakni terdiri dari tiga sumber yaitu al-Qur’an (kitabullah), as-Sunnah (kini dihimpun dalam hadis), dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik.
- AL QUR’AN
Secara etimologis, al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :
“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).
Sedangkan menurut para ulama klasik, al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Adapun pokok-pokok kandungan dalam al-Qur’an antara lain:
- Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
- Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
- Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkarinya.
- Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
- Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
- Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
- Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangakan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
- Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, haji, dank urban.
- Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
- Hukum munakahat (pernikahan).
- Hukum faraid (waris).
- Hukum jinayat (pidana).
- Hukum hudud (hukuman).
- Hukum jual-beli dan perjanjian.
- Hukum al-khilafah (tata Negara/kepemerintahan).
- Hukum makanan dan penyembelihan.
- Hukum aqdiyah (pengadilan).
- Hukum jihad (peperangan).
- Hukum dauliyah (antarbangsa).
- AS-SUNNAH ATAU AL-HADIST
Sunnah menurut istilah syar’i adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Qur’an yang kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
As-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yakni:
- Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
- Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
- Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain
- Sunnah Hammiyah, yakni sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan.
Ada beberapa ahli hadis yang mengatakan bahwa istilah hadis dipergunakan khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedangkan sunnah fi’liyah (perbuatan) dan sunnah taqririyah tidak disebut hadis, tetapi sunnah saja.
- SUMBER PELENGKAP AR-RA’YU
Secara garis besar ayat-ayat al-Qur’an dibedakan atas ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya dan hukum yang dikandungnya tidak memerlukan penafsiran. Pada umumnya bersifat perintah, seperti penegakkan shalat, puasa, zakat dan haji.
Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memerlukan penafsiran lebih lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai arti, seperti ayat mengenai gejala alam yang terjadi setiap hari. Adanya ayat mutasyabihat mengisyaratkan manusia untuk mempergunakan akalnya dengan benar serta berpikir mengenai ketetapan hukum peristiwa tertentu yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah.
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist. Orang yang menetapkan hukum dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Walaupun Islam adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah SWT, Islam sangat menghargai akal. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat Al Quran yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya, seperti pada surat An Nahl ayat 67 “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkannya”. Oleh karena itu, apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di Al Quran maupun Hadist, maka diperintahkan untuk berijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada Al Quran dan Hadist.
Adapun macam-macam bentuk ijtihad yang dikenal dalam syariat Islam, yaitu:
1. Ijma’, menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Qiyas yang berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3. Istihsan yang berarti suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4. Mushalat Murshalah, menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapum menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5. Sududz Dzariah, menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6. Istishab yang berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7. Urf. berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
Ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam dan merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist. Dengan ijtihad itu umat Islam menyelesaikan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak ada dalam Al Quran maupun Hadist. Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi sosok yang dapat ditanya secara langsung tentang masalah-masalah Islam. Oleh karena itu, ijtihad dijadikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan tetap mengacu pada Al Quran dan Hadist.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar